Di banyak kesempatan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah selalu mengkampanyekan bahwa semua pihak wajib taat pada aturan. Bahkan di banyak peristiwa, rakyat yang tak taat aturan selalu saja menghadapi masalah dan ujungnya pemerintah selalu memperlihatkan bahwa kebenaran (peraturan perundangan) selalu menang. Contoh paling baru adalah kasus Kalijodo, di Jakarta Barat-Utara.
Seberapa kuat pun keinginan rakyat untuk bertahan di bantaran kali itu, mereka akhirnya pasrah (taat aturan) untuk meninggalkan tanah yang memang bukan miliknya. Dan tak lupa, Gubernur DKI, Ahok mempertontonkan kehebatan pemerintah daerah dengan melibatkan aparat: Polisi dan TNI beribu jumlahnya berjaga-jaga dari kemungkinan rakyat Kalijodo melakukan makar.
Tak secuil pun perlawanan dipertontonkan oleh rakyat, mereka meninggalkan tempat yang sejak 1950-an telah mereka tempati dan memberikan kehidupan, halal atau pun tidak halal.
Masih banyak contoh di mana rakyat kecil yang notabene selalu diiming-imingi oleh janji kampanye dan belum memperoleh hak-hak mereka sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Dasar, senantiasa kalah melawan aturan hukum positif negara.
Hingga hari ini, tak ada makar dari mereka bisa hak-hak berkehidupan, berkesehatan, dan berpendidikan belum mereka peroleh. Bahkan karena patuh dan taat pada perundangan, meski tidak puas dengan hasil pemilihan presiden serta kepala daerah, toh tak ada gerakan apapun lias aman dan nyaman saja.
Menanti Pemerintah Taat
Lalu, salahkah jika kita, saya dan anda sekalian, rakyat Indonesia, juga menuntut hal yang sama? Kita menuntut dalam koridor bernegara yang baik, kita menuntut dalam khasanah musyawarah mufakat, dan kita menutut sesuai kepribadian bangsa kita yang menjunjung keluhuran atas nama kebaikan agar pemerintah juga taat aturan. Salahkah itu?
Senin, 7 Maret 2016, pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan penolakan Kasasi yang diajukan oleh Menpora Imam Nahrawi terkait Surat Pembekuan PSSI. Sebelumnya, Kemenpora kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tertinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).
Menurut juru bicara MA, Suhadi, Menpora harus mencabut SK nomor 01307 tentang Pembekuan PSSI yang dikeluarkan Kemenpora, April tahun lalu. "Isi amar putusannya ditolak," katanya, Senin (7/3).
Itu artinya, lanjut Suhadi, putusan dua pengadilan sebelumnya dengan sendiri berlaku dan bisa dieksekusi. Yaitu, agar SK Pembekuan PSSI bernomor 01307/2015 segera dicabut oleh pemerintah. "Ya, ini sudah inkrah karena ditolak. MA juga mewajibkan Kemenpora sebagai pengaju (kasasi) membayar perkara," sambung dia.
Alih-alih mentaati perundang-undangan yang ada, Menpora justru semakin gigih mempertontonkan keseweng-wenangannya. Benar Peninjauan Kembali (PK) adalah hak dan dapat dilakukan dengan landasan hukum, tetapi itu pun harus didasari dengan novum baru atau dengan catatan ada kesalahan dalam putusan.
Namun konyolnya, Menpora justru memperlihatkan sisi lain yakni melawan hukum negara dengan terus mendorong Tim Transisi bentukannya melakukan kegiatan memanggil klub-klub anggota PSSI, Jumat (11/3).
Kalaulah Menpora ingin melawan dalam koridor berbangsa yang baik, maka ia hendaknya menghentikan aktivitas tim transisi underbow-nya itu sambil menunggu gelaran PK dipersiapkan oleh tim hukumnya.
Tapi sekali lagi, menpora memperlihatkan kekuasaan di atas segalanya. Bahkan yang lebih menyedihkan, Bibit Samad Riyanto, mantan komisioner KPK, justru ikutan asyik mengutak-atik sesuatu yang bukan haknya yakni menjalankan teknis roda organisasi, yang diberi nama kompetisi.
Tak heran jika di saat ia menjabat sebagai komisioner KPK sempat tersandung masalah dan sempat mendekam di tahanan kejaksaan. Bibit terbebas karena Presiden SBY memerintahkan Jaksa Agung untuk mendeponir kasusnya. Artinya, meski ia mengaku sebagai pendekar pemberantas korupsi, ternyata ia termasuk orang yang tak patuh hukum.
Seharusnya dengan adanya keputusan yang sudah final PK tidak mengganggu eksekusi pencabutan pembekuan atau SK 01307 batal demi hukumseharusnya Bibit tahu bahwa produk lanjutannya seperti Tim Transisi juga batal demi hukum.
Melihat kenyataan tersebut, tampaknya sekarang kita ---rakyat yang patuh hukum--- bertanya: "Siapakah yang sesungguhnya tidak taat pada aturan negara?"
Jawabnya tercermin pada perilaku di atas. Bahkan ucapan Menpora yang mengatakan bahwa PSSI makar dan melawan negara karena tidak mengindahkan dua surat peringatan sebelum dijatuhkan sangsi pembekuan, jelas tak berdasar. Wong jelas hukum tertinggi saat ini yakni Mahkamah Agung sudah mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum pun tak diguburisnya, lalu siapa sebenarnya yang tak taat pada hukum di negara ini?
Kita, saya dan anda sekalian, rakyat Indonesia, harus tetap berada di jalur hukum positif. Kita harus sabar menunggu pemerintah taat pada aturan hukum negara yang sesungguhnya, kecuali pemerintah saat ini memang ingin berada di atas hukum yang ada.[*]
Sumber: M. Nigara, Wartawan Olahraga Senior